Esai ini pernah dimuat dalam buku “Tersenyumlah Nak – Sebuah Kisah Cinta” yang diterbitkan Harian Banjarmasin Post dalam rangka memperingati HUT ke-3 Yayasan Suaka Ananda Bpos, 20 Juni 2009 (http://suaka-ananda-bpos.or.id/Berita/berguru-kepada-anak-anak-lucu-itu.html)
Di masa saya masih kecil, berumur sekitar sepuluh tahun, keluarga kami bertetangga dengan keluarga lain yang tiga orang anak laki-lakinya, berikut seorang pamannya yang hampir sebaya dengan keponakannya itu berangkat ke Dusseldorf, Jerman Barat. Jerman saat itu masih terbelah dua, Jerman Timur dan Jerman Barat.
Mereka berangkat bergelombang, mula-mula pamannya dan saudara tertua, kemudian disusul oleh adik-adiknya. Ketika itu hampir semua tetangga dekat keluar rumah melepas kepergian mereka, tidak ketinggalan saya. Kabarnya mereka ke sana bersekolah.
Terbayang dalam benak, senangnya mereka studi di sana, di tengah udara yang dingin, sarapan pagi dengan roti isi daging, keju dan telor, berangkat ke sekolah dengan mantel, bergelantungan di trem listrik di tengah kota. Keadaan yang serba teratur rapi, masyarakat yang sangat menghargai hak orang lain terus membayangi pikiran. Sudah barang tentu mereka mahir berbahasa Jerman atau setidaknya bahasa Inggris. Terbayang pula beberapa tahun kemudian mereka akan pulang dengan gelar Insinyur, bekerja sebagai kepala mekanik, atau mungkin di perusahaan galangan kapal di Jawa. Namun di kemudian hari terbukti di sana mereka tidak pernah berkuliah, tapi bekerja sebagai sopir taksi.
Peristiwa itu membekas dalam pikiran saya. Sejak itu niat untuk bersekolah ke luar negeri menjadi obsesi saya, lebih-lebih setelah banyak mendapat pengetahuan tentang dunia barat dari buku-buku milik ayah. Walau ayah tidak tamat sekolah dasar, karena di saat kecil keluarganya terhimpit oleh keadaan ekonomi, namun ia adalah seorang yang sangat menghargai pengetahuan. Ayah sangat suka membaca. Rasanya tidak ada hari-harinya yang terlewatkan tanpa membaca. Surat kabar harian langganannya banyak, koran lokal, Sinar Harapan, Berita Yudha, Suara Merdeka, dan setelah tahun 65an juga Kompas. Buku-buku tentang sejarah, terutama sejarah Islam, nonfiksi, biografi dan memoar sangat digemarinya. Ratusan buku itu juga menjadi sumber pengetahuan saya di masa kecil.
Ketika sekolah dasar dilewati, saya memberanikan diri minta izin orangtua untuk diperkenankan sekolah ke pulau Jawa. Kota tujuan adalah Surabaya. Bayangan saya sebelum sekolah ke luar negeri ada baiknya belajar di kota lain dalam negeri yang jauh dari keluarga agar terbiasa pisah dengan orang-orang yang dicintai. Banyak masukan bahwa pendidikan di pulau Jawa jauh lebih maju dibanding di daerah. Lebih-lebih bila membayangkan di sana ada bemo, kendaraan angkutan kota roda tiga, yang dapat menggantikan sepeda yang saya pakai sehari-hari.
Ibu sangat terkejut, namun ayah saya tergelak sambil bertanya kalau sudah dewasa maunya jadi apa ? Saya jawab mau jadi seperti Zatoichi, yang dalam serial film terkenal di masa saya kecil diperankan oleh Shintaro Katsu, itu jagoan ahli pedang yang buta dari Jepang yang berkelana tiada henti sambil membela kebenaran. Atau seperti Umar bin Chatab, pahlawan Islam yang tegas, pemberani, namun sangat bersahaja. Ketika itu tampaknya saya belum dapat membedakan pertanyaan tentang “apa” yang saya jawab dengan “siapa”.
Jelas, orangtua ketika itu tidak mengijinkan karena alasan-alasan yang logis antara lain karena tidak ada orang atau keluarga yang mengawasi keseharian saya di sana. Lebih-lebih ibu yang tidak pernah melepas anaknya jauh, apalagi ketika itu saya masih berusia sekitar dua belas tahun. Ibu memiliki sembilan anak, saya tepat berada di tengah.
Penolakan orangtua tidak menyurutkan obsesi saya untuk menuntut ilmu di luar negeri, lebih-lebih ketika saya tahu ada teman kakak yang dikirim Departemen P dan K ke Jepang beberapa bulan dalam rangka pertukaran pelajar.
Lulus sekolah lanjutan pertama, sekitar tahun 1970 atau 1971, sekali lagi saya utara-kan keinginan untuk sekolah di Surabaya, namun sekali lagi pula ditolak orangtua. Sementara itu saya sudah mulai mempersiapkan diri dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris.
Setahun setelah itu, ketika pengumuman kenaikan kelas, gejolak untuk bersekolah di Surabaya tidak tertahankan. Sekali lagi mencoba mengajukan kenginan itu kepada orangtua. Kali ini, ibu yang biasa kukuh menentang malah merestuinya. Ibu mengatakan melihat kesungguhan dan tekad anak yang satu ini yang tampaknya tak pernah pudar, dan setelah membaca esai Kahlil Gibran, membuatnya luluh.
Ketika ibu ditanya apa kata Kahlil Gibran, ia mengatakan, secara tak sengaja menemukan di bawah bantal ayah buku karangan penyair kelahiran Lebanon yang besar di Amerika itu, dan terbaca beberapa baris kalimat demikian: “ Anak-anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka lahir melalui engkau, tapi bukan darimu. Meskipun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu. Pada mereka engkau boleh memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu, karena mereka memiliki pikiran sendiri. Engkau dapat memberikan tempat untuk raga, tapi bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok yang tak pernah dapat engkau kunjungi, meskipun dalam mimpi. Engkau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu.
Karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu. Engkau adalah busur kehidupan – tempat dimana anakmu menjadi anak-anak panah yang diluncurkan”.
Titik air mata saya mendengar penuturan ibu. Saya tidak menyangka, ibu yang hanya seorang ibu rumah tangga dan pernah melahirkan sembilan anak ke dunia ini, namun pernah bekerja sebagai operator di Kantor Telepon, begitu jauh pandangannya ke depan. Kini tidak ragu saya menempatkan ibu sebagai orang yang terbesar dan sangat berpengaruh dalam sejarah hidup saya.
Ayah mengantar saya hingga ke Surabaya, mencarikan sekolah, dan menitipkan kepada keponakan ibu yang sudah hampir lulus sekolah kedokteran untuk mengawasi keberadaan saya di sana.
Ayah memilih SMA Negeri 3 Surabaya untuk sekolah saya, yang satu komplek dengan Kantor Wilayah P dan K Jawa Timur. Mungkin dipikirnya sekolah itu pasti bagus karena lingkungannya baik, guru-gurunya rajin, dan pelajarnya tidak berani macam-macam, karena satu halaman dengan instansi yang berwenang mengurusi sekolah-sekolah.
Sementara belum mendapat rumah kost, ayah menitipkan saya di asrama mahasiswa Kalimantan Selatan di Jalan Pucang Adi, cukup jauh dari sekolah karena harus dua kali ganti bemo, angkutan kota tiga roda. Di hari-hari awal saya bersekolah di kota Surabaya dilalui dengan perasaan senang dan sedih yang bercampur baur menjadi satu. Senang karena arah untuk meraih obsesi tampaknya sudah tepat, sedih karena harus meninggalkan semua yang sudah mapan, jauh dari orangtua dan saudara.
Ternyata tinggal di asrama sungguh membuat saya benar-benar mandiri. Berangkat dan pulang sekolah harus jalan kaki lebih dahulu sebelum naik angkutan kota. Harus mencuci sendiri pakaian sehari-hari, harus menerima makan seadanya. Di rumah yang biasanya lauk pauk tidak terbatas, di asrama mahasiswa itu tidak jarang saya disuguhi makanan seperempat telor dadar plus sayur disiram kuah pecel encer sekadarnya.
Walau kurang dari satu tahun tinggal di asrama itu, namun sungguh banyak kesan dan pengalaman baik yang saya dapatkan. Di asrama, yang semua penghuninya mahasiswa, saya memiliki banyak teman yang bersahaja namun gigih menuntut ilmu. Rasa senasib dan sepenanggungan serta hidup prihatin membuat rasa persaudaraan kami menjadi lebih erat. Cinta dan pengorbanan orangtua kepada anaknya menjadi lebih terasa. Bagi saya, asrama itu bagai kawah Candradimuka.
Tahun 1974 saya lulus Sekolah Menengah Atas. Sementara itu keinginan untuk bersekolah ke luar negeri tidak pernah padam. Ketika pulang dan menghadap orangtua, saya kemukakan lagi keinginan untuk menuntut ilmu di negeri orang. Namun lagi-lagi orang-tua menolak. Akan tetapi kali ini saya menerima alasan orangtua dengan legawa.
Ayah mengatakan ia sudah meninggalkan pekerjaan yang digelutinya selama ini, yaitu sebagai kontraktor atau dahulu dikenal sebagai anemer (Belanda: aannemer). Walau merasa masih mampu berkarya namun beliau merasa zaman sudah berubah. Era beliau sebagai anemer yang mengutamakan kualitas, kelas dan mutu tampaknya sudah berlalu. Singkatnya ayah mengemukakan ketidakmampuan keuangan manakala saya studi di luar negeri.
Saya sangat memahami kondisi keuangan ayah, dan lebih memahami lagi kemampuan saya sendiri, terutama kemampuan bahasa Inggris yang seharusnya menjadi modal utama untuk berkomunikasi di sana manakala akan menuntut ilmu di Negara mana pun. Sepanjang ingatan, sejak Sekolah Menengah Pertama hingga mahasiswa Strata Dua, sudah lebih sepuluh kali saya masuk keluar lembaga kursus bahasa, namun tidak jua berhasil menyelesaikan dengan mendapatkan sertipikat, selalu saja gagal. Tentunya tidak pernah bisa menguasai secara aktif bahasa Inggris.
Namun demikian ketika itu beliau mengemukakan tetap mendorong agar saya kuliah pada salah satu perguruan tinggi di kota mana pun, asal di Negara sendiri. Saat itu ayah tidak lagi bertanya seperti dulu: “Kalau besar mau jadi apa”, tapi hanya mengemukakan beberapa profesi dan pekerjaan yang kemungkinan akan dijalani. Selanjutnya beliau berandai-andai untuk pekerjaan saya mendatang. Andai jadi Akuntan, kata ayah, saya tidak cocok karena lemah dalam hitung-hitungan. Andai jadi pegawai negeri, kata beliau, tidak cocok karena gajinya sedikit dan saya yang selalu diberi pesan oleh ayah “berakit ke hulu berenang ke tepian” akan berpotensi menyalah-gunakan kewenangan.
Ayah juga berpesan agar hindari profesi Avokat/Pengacara karena akan menghadapi banyak musuh. Jangan pula sebagai Hakim, karena profesi itu pekerjaannya paling berat di dunia, sebab ia dalam menyelesaikan pekerjaannya selalu didahului oleh kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Beliau masih berandai-andai, menjadi Polisi atau Jaksa juga tidak cocok bagi saya; dikatakannya saya tidak tegar dalam menegakkan hukum. Lalu profesi apa yang pantas bagi saya ?
Ayah yang tidak pernah menempuh pendidikan formal yang tinggi, namun sarat dengan pengalaman hidup, mengatakan selama ia menjalankan usaha, sudah sangat sering berhubungan dengan orang-orang berbagai profesi. Ia merasakan profesi yang paling ideal dan pas bagi saya, diramalnya saya adalah anak pertama – diantara dua belas orang anaknya – yang akan bergelar sarjana, adalah Notaris.
Notaris ? Ya, Notaris, katanya. Di mata ayah, Notaris diperlukan orang dalam damai, artinya pihak-pihak yang akan meminta jasanya secara umum berurusan tidak dengan suasana hati penuh emosi, tapi dengan senyum. Notaris independen, tidak ada pihak yang menekan, yang mendikte, apalagi menggurui. Notaris tidak punya atasan, bukan pegawai negeri, tidak ada mutasi, apalagi demosi. Ia tidak digaji, tapi ia akan mendapat penghargaan (honor) dari orang yang memerlukan jasanya. Dan yang terpenting lagi, katanya, sebagian besar pekerjaan Notaris dituntun oleh undang-undang dan peraturan lainnya.
Saya pikir menarik juga, suatu profesi yang seratus persen bergantung kepada dirinya sendiri. Pekerjaan yang imbalannya bukan upah, tapi penghargaan (honorarium, honoraria). Saya pikir lagi, bukankah keinginan sekolah ke luar negeri itu pada prinsipnya untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan ? Bukankah pendidikan dan pengalaman itu sebuah proses pengembangan diri untuk meningkatkan pengetahuan ? Bukankah pengetahuan itu diperlukan untuk menunjang pekerjaan/profesi kelak di kemudian hari ? Bila profesi sudah dipilih, haruskah pendidikannya ke luar negeri. Akhirnya saya mantap mengikuti saran ayah. Akan saya raih gelar sarjana hukum, untuk selanjutnya akan mengikuti pendidikan strata dua bidang spesialisasi kenotariatan. Saya berpikir, biarlah obsesi saya saat itu tidak terpenuhi, tapi siapa tahu kelak anak saya yang dapat mewujudkan keinginan itu.
Esoknya, saya sampaikan niat itu kepada ayah, dan ayah menyambutnya dengan senang. Alhamdulillah, katanya, seraya berkata bahwa pada prinsipnya pendidikan apapun yang akan ditempuh ayah akan mendukung, pokok yang penting memiliki bekal pengetahuan untuk lebih memahami makna hidup. Apapun profesi yang akan dipilih, katanya lebih lanjut, itu hanya sekadar jembatan, yang penting tetap bertakwa dan tawakal kepadaNya. Selanjutnya beliau berkata lagi: “Anakku, ketahuilah, sesungguhnya dunia ini bagaikan lautan yang dalam, banyak manusia yang karam ke dalamnya. Bila engkau ingin selamat, layarilah lautan itu dengan sampan yang bernama takwa, isinya adalah iman dan layarnya adalah tawakal kepada Allah”.
Semula kalimat terakhir ayah itu tidak saya cerna dengan baik, akan tetapi setelah diingat-ingat, ternyata maknanya sangat dalam. Belakangan baru saya tahu ternyata ayah mengutip kalimat itu dari pesan-pesan dalam riwayat Lukman, orang biasa yang terpilih namanya diabadikan Allah dalam salah satu surat Al Quran, kepada anaknya.
Dua puluh lima tahun kemudian, Ananda Sabil Hussein, anak pertama saya lulus Sekolah Menengah Pertama. Ia berkeinginan sekolah di Jawa. Saya dan ibunya meluluskan kehendaknya. Jadilah ia sekolah di kota Malang, tempat di mana adik-adik dan kakak serta mertua dan ipar saya tinggal.
Ketika ia lulus Sekolah Menengah Atas, entah kebetulan atau tidak, ternyata ia memiliki keinginan yang sama seperti saya dulu. Ingin sekolah di luar negeri. Saya sangat mendukungnya, seolah-olah saya ingin melampiaskan obsesi dulu. Ketika libur, berangkatlah saya dan anak menuju Negara jiran, Malaysia, untuk melihat-lihat kampus di sana. Sempat kami menengok beberapa perguruan tinggi di sana, mulai dari Universiti Kebangsaan Malaysia, University Malaya, Sunway College di Shah Alam, Selangor, sampai University Sains Malaysia di Penang.
Pilihan jatuh ke Sunway College yang berafiliasi dengan Monash University di Melbourne. Kami langsung mendaftar untuk ikut tes masuk. Ketika saya menanyakan sekali lagi apa sudah mantap kuliah di sana, ia menjawab sudah mantap. Ketika ditanya mau jadi apa nanti ? Ia menjawab mau jadi dosen seperti ibunya. Saya sadar, kalau memilih pekerjaan sebagai dosen haruslah pandai, kritis, dan berwawasan luas. Maka sudah sepatutnya memiliki pengetahuan yang lebih manakala ingin memintarkan orang lain. Berbeda dengan saya dulu yang berkeinginan belajar di luar negeri namun tidak jelas ingin menjadi apa, pokoknya hanya ingin belajar di luar negeri.
Setelah beberapa waktu, saat tes segera tiba, tiket ke Kuala Lumpur sudah dibeli, tiba-tiba saja isteri saya yang semula setuju anaknya sekolah ke Malaysia memutuskan untuk melarang Ananda Sabil kuliah di sana. Alasannya sederhana, nanti kalau sekolah di sana, andai mendapat jodoh orang sana karena agama yang sama, budaya yang mirip sama, bahasa yang hampir sama, maka sang anak seolah-olah menjadi “hilang”, tidak akan kembali lagi. Apa mau dikata, saya tidak dapat berkata apa-apa lagi menghadapi naluri seorang wanita. Pupuslah harapan Ananda Sabil kuliah di luar negeri, hilang juga harapan saya yang seharusnya dapat diwujudkan oleh anak.
Tahun 2001 anak saya yang pertama itu diterima di Universitas Brawijaya Malang, dan tiga tahun tiga bulan kemudian, ketika ia berusia dua puluh satu tahun, sudah menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi. Namun sayang, keberhasilan anak tidak sempat disaksikan ibunya. Menjelang akhir tahun 2002 ibunya tutup usia karena stroke hemorragik. Kami tidak dapat berbuat apa-apa selain bertawakal. Sedih sekali, lebih-lebih satu bulan kemudian seharusnya kami berangkat menunaikan ibadah haji.
Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu, rupanya keinginan anak untuk menuntut ilmu tidak jua padam. Ketika suatu hari Ananda Sabil menyampaikan bahwa semua syarat untuk kuliah di University of Wollongong (UOW) sudah dipenuhi, saya langsung menyetujui. Wollongong adalah salah satu kota di Negara bagian New South Wales, Australia. Kota yang berpenduduk sekitar tiga ratus ribu orang itu ditempuh kurang dari sembilan puluh menit dengan bus atau kereta api dari pusat kota Sydney. Ananda Sabil & Keluarga Mrs. Sue Pilcher – Homestay
Masih segar dalam ingatan, untuk menenteramkan hati melepas anak menuntut ilmu jauh di negeri orang, pada pukul 23.30, Kamis, 14 April 2005 saya dan Christian Kunthi, isteri saya, berangkat mengantarkannya dari Denpasar menuju Sydney. Setelah melapor ke Konsulat Jenderal RI di sana, kami menuju kota Wollongong yang masuk dalam Distrik Illawara. Sungguh kota yang nyaman dan sangat cocok untuk pelajar. Kotanya lengang, sangat bersih, tertata sangat apik, terlihat aman, penduduknya ramah, dan tidak hiruk pikuk.
Kuliah di UOW bersama dua puluh dua ribu mahasiswa, empat ribu diantaranya mahasiswa internasional berbagai bangsa, amat menyenangkan. Kampusnya sungguh menawan, terletak di pinggir kota dengan menempati lahan seluas delapan puluh dua hektar. Lingkungan yang adem, teduh, jauh dari kebisingan, apalagi dari deru mesin motor dan klakson mobil. Sekarang, obsesi saya untuk sekolah di luar negeri menjadi kenyataan, walaupun anak yang mewujudkannya.
Beberapa hari kemudian, setelah mengantarkan Ananda Sabil ke pondokannya selama masa orientasi di sana, dan setelah mengunjungi obyek wisata di sekitar kota Wollongong, kami bersiap-siap untuk kembali ke negeri sendiri. Di pagi buta, saat taksi menjemput kami, tibalah saat perpisahan. Ini adalah benar-benar momen yang sulit untuk dilupakan, lebih-lebih manakala mengenang ibunya yang telah tiada. Sebelum memasuki taksi, saya usap kepala sang anak, saya ucapkan doa Jenderal Douglas MacArthur yang sangat terkenal:
“Tuhanku… Bentuklah puteraku ini menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya. Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan. Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan. Tetap jujur dan rendah hati dalam kemenangan. Bentuklah puteraku ini menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja. Seorang Putera yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan. Tuhanku… Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak. Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan. Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya. Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi, sanggup memimpin dirinya sendiri, sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain. Berikanlah hamba seorang putera yang mengerti makna tawa ceria tanpa melupakan makna tangis duka. Putera yang berhasrat untuk menggapai masa depan yang cerah namun tak pernah melupakan masa lampau. Dan, setelah semua menjadi miliknya… Berikan dia cukup kejenakaan sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh namun tetap mampu menikmati hidupnya. Tuhanku… Berilah ia kerendahan hati… agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki…Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna…Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud, hamba, ayahnya, dengan berani berkata “hidupku tidaklah sia-sia”.
Tak banyak kata yang diucapkannya. Bapak tidak usah cemas, aku bisa menjaga diri; terima kasih untuk semuanya, aku sangat bersyukur kepada allah SWT, katanya. Ketika taksi mulai bergerak tidak henti-hentinya saya memalingkan wajah ke belakang hingga sampai di tikungan jalan.
Happy Family – Bapak, Sabil, Ade, Kunthi
Pada hari Rabu, 12 Juli 2006 Ananda Sabil berhasil meraih gelar Master of Commerce dengan bidang studi Strategic Marketing. Kini ia mengabdi sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, telah menikah dengan pacarnya, Raditha Hapsari, dan dua setengah tahun lalu dikaruniai Alia Aydinna Raihannie, anak perempuan yang sangat lucu. Saat ini, sejak dua tahun lalu, ia mendapat tugas belajar untuk menempuh jenjang strata tiga di Lincoln University Canterbury,
Lincoln University Canterbury, NZ (Ivey Hall)
New Zealand untuk mendalami studi di bidang Social Marketing. Semoga Allah SWT mengijinkan dan meridhoinya, sehingga saya berani mengatakan: “Hidupku tidaklah sia-sia”
*****